Kesiapan
menghadapi bencana adalah hal yang sangat penting untuk dibangun dan
direncanakan oleh setiap negara, khususnya negara seperti Indonesia, yang secara
geologis terletak pada daerah yang berpotensi tinggi akan ancaman bencana alam.
Hal ini berlaku, baik untuk bencana alam, maupun bencana yang disebabkan oleh
faktor manusia, seperti terorisme dan kecelakaan akibat rusaknya infrastruktur.
Gambar 1. Simulasi mekanisme
gempabumi menggunakan instrumen pembelajaran, yang dilakukan oleh salah satu sekolah
di Jepang (http://web-japan.org)
Jepang
merupakan contoh negara yang mempersiapkan terjadinya semua kemungkinan faktor
risiko tersebut dengan matang. Sadar akan tingginya potensi bencana di Jepang,
pemerintah mencanangkan berbagai macam strategi untuk mengurangi risiko dampak
korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur pasca bencana tersebut. Sebagai
salah satu upaya persiapan menghadapi bencana, pendidikan kebencanaan (bosai kyoiku) pun diterapkan, baik dalam
tingkat edukasi formal maupun non-formal. Program ini ternyata disambut baik
oleh masyarakat Jepang, terutama setelah terjadi bencana-bencana dahsyat
seperti gempa Hanshin-Awaji dan tsunami Tohoku (Kitagawa, 2014). Masyarakat
percaya bahwa meskipun bencana alam tidak bisa dihentikan, namun dampak
pasca-bencana seperti jatuhnya korban maupun kerusakan bangunan, dapat
diminimalisir dengan baik melalui edukasi yang komprehensif dan berkelanjutan.
Pendidikan
kebencanaan di Jepang telah dimulai sejak pasca perang dunia kedua. Kondisi
daratan Jepang yang rusak parah akibat perang, mengakibatkan Jepang rentan akan
bencana banjir dan kebakaran. Melihat kondisi ini, pemerintah berupaya
memperbaiki kondisi pertahanan dan keamanan negara, melalui rekonstruksi
infrastruktur serta peningkatan kualitas manajemen bencana, salah satunya dalam
bidang pendidikan.
Sejak
mulai diterapkan, sistem pendidikan berbasis mitigasi bencana di Jepang selalu
mengalami evaluasi dari era ke era. Kitagawa (2014) membagi masa transisi pendidikan
kebencanaan di Jepang ini dalam beberapa tahapan, yaitu: pasca perang dunia kedua (1945-1951); pasca
masa peningkatan perekonomian jepang (1951-1959); pasca topan Teluk Ise
(1959-1977); era kurikulum Yutori (1977-1995), pasca gempabumi Hanshin-Awaji
(1995-2001); pasca pembantaian di SD Ikeda (2001-2011); dan pasca gempabumi dan
tsunami Tohoku (2011-sekarang).
a.
Pasca
Perang Dunia Kedua (1945-1951)
Selama dan setelah perang dunia kedua,
gempabumi melanda Jepang dan mengakibatkan kerusakan yang cukup parah. Tujuh gempa
bermagnitudo di atas M6.0 terekam dari tahun 1923 hingga 1948, menyebabkan 3769
korban meninggal dunia (Cabinet Office Japan,
2018). Pasca gempa Fukui (1948), kurang lebih 36184 bangunan hancur total,
dengan 3851 bangunan mengalami kebakaran. Belajar dari pengalaman ini,
pendidikan kebencanaan mulai disusupkan pada CoS yang telah diperkenalkan pada
tahun 1947. Pendidikan kebencanaan terkandung dalam kurikulum, dalam bentuk
studi sosial dan bermacam-macam topik mengenai rasa empati, tanggung jawab, dan
tolong-menolong. Di samping itu, terdapat pula pemahaman saintifik mengenai
pengetahuan umum tentang bencana alam. Pendidikan kebencanaan merupakan
kurikulum nasional pertama yang menyeimbangkan dengan baik antara pengetahuan
ilmiah dengan skill kemanusiaan.
Mengikuti masuknya pendidikan
kebencanaan dalam kurikulum nasional, pada tahun 1949, materi mengenai
kesehatan dan keselamatan mulai diperkenalkan
pada tahap Sekolah Menengah Pertama, sebagai bagian dari pelajaran pendidikan
jasmani dan kesehatan. Bahasan utama dari materi ini adalah berbagai macam tipe
kecelakaan dan bagaimana upaya menghindarinya. Untuk pertama kalinya,
siswa-siswa SMP juga mendapatkan pelajaran mengenai keterampilan pertolongan
pertama pada kecelakaan.
b.
Pasca
Masa Peningkatan Perekonomian Jepang (1951-1959)
Sekitar tahun 1950-an, Jepang memasuki
masa peningkatan kondisi ekonomi, yang membuat pengetahuan akademik sangat
dihargai di mata masyarakat. Kondisi ini berpengaruh terhadap pendidikan
kebencanaan yang telah dirintis sebelumnya pada tahun 1948. Di masa ini,
pendidikan kebencanaan mengalami perpindahan konsep dari experience base menuju knowledge
base, yang diindikasikan dari perubahan orientasi dari pemahaman sosial
menjadi pemahaman ilmiah. Fokus utama dari pendidikan kebencanaan di masa ini
adalah peningkatan ilmu dan teknologi sebagai persiapan menghadapi
bencana-bencana yang akan datang. Pengetahuan geografis Jepang sebagai negara
yang rawan akan bencana alam, menjadi objek utama yang dipelajari oleh siswa.
Pada era ini pula, konsep umum dari
“School Safety” berkembang dengan pesat. Tahun 1958, materi tentang pertolongan
pertama mulai diwajibkan dalam pelajaran pendidikan jasmani di tingkat SD.
Untuk tingkat SMP, pelajaran pendidikan jasmani mulai memuat materi tentang
bagaimana cara mencegah terjadinya kecelakaan dan bencana. Kementerian
Pendidikan bertanggung jawab terhadap administrasi pelaksanaan School Safety,
yang mencakup pendidikan keselamatan (Safety Education) dan manajemen
keselamatan sekolah (Safety Management).
c.
Pasca
Bencana Topan Teluk Ise (1959-1977)
Tahun 1959, angin topan Vera menerjang
Jepang. Bencana besar ini dikenal sebagai Topan Teluk Ise, yang menelan 5000
korban jiwa (Cabinet Office Japan, 2018). Bencana topan Teluk Ise menjadi ujian
besar bagi Jepang yang baru saja merintis pembangunan di masa pertumbuhan
ekonomi. Kondisi Jepang pasca topan Teluk Ise dapat dilihat pada Gambar 2.
Untuk mengatasi dampak bencana yang
cukup besar di masa pasca topan Teluk Ise, konsep Disaster Countermeasure Basic
Act dilahirkan guna mengatur bagaimana struktur organisasi pemerintah dalam
menghadapi dan menanggulangi bencana. Sebagai lembaga pelaksana, Central
Disaster Management Council dibentuk untuk mengkoordinasi teknis pelaksanaan
manajemen bencana di setiap prefektur.
Gambar 2.
Banjir pasca bencana topan Teluk Ise (http://emaze.com)
Melihat kondisi trauma yang dialami
masyarakat akibat dahsyatnya bencana topan Ise, pemerintah menyadari bahwa
pendidikan yang hanya memuat pengetahuan akademik mengenai kebencanaan saja
tidaklah cukup. Oleh karena itu, ilmu tentang kesehatan psikologis siswa mulai
dikonsepkan dalam silabus-silabus yang terdapat dalam CoS, sebagai evaluasi
pasca terjadinya topan Ise.
d.
Masa
Kurikulum Yutori (1977-1995)
Karakter utama dari era ini adalah perubahan
kebijakan akademik, dari yang semula berorientasi pada pencapaian akademis
semata, menjadi konsep pengajaran yang bersifat lebih “rileks” (yutori) dan
menitikberatkan pada kreativitas dan pengembangan diri setiap siswa. Pendidikan
yang “rileks” (yutori kyoiku) digagas
dalam CoS pada tahun 1977. Ide utama dari pergantian konsep ini adalah kritik
dari sistem pendidikan di era sebelumnya yang dirasa kurang efektif, dimana
siswa hanya dijejali dengan materi-materi pelajaran dan ditargetkan untuk
mencapai nilai akademik yang tinggi semata. Sejumlah program dalam kurikulum
sebelumnya pun diganti, di antaranya pengurangan jam pelajaran bagi siswa.
Sementara itu, sekitar
tahun 1972, Kementerian Pendidikan menerbitkan buku panduan School Safety untuk
tingkatan SD, dan pada tahun 1975, panduan tersebut ditulis pula untuk tingkat
SMP. Hal tersebut kemudian diikuti dengan revisi pada konsep Kesehatan Sekolah
(School Health Act) pada tahun 1978, yang di dalamnya tercantum kampanye
mengenai perencanaan keselamatan dan kesehatan di setiap sekolah.
e.
Pasca
Gempa Hanshin-Awaji (1995-2001)
Pada Januari 1995, kota terbesar
kelima di Jepang, Kobe, diguncang gempa bermagnitudo M7.3. Peristiwa ini
dikenal sebagai gempa Kobe, gempa Hanshin-Awaji, atau gempa Hanshin. Dilansir
dar Cabinet Office Japan (2018), gempa Hanshin-Awaji mengakibatkan kekacauan di
kota, dengan 6437 jiwa dinyatakan meninggal dunia atau hilang, 250000 bangunan
runtuh, dan 15000 bangunan hangus terbakar. Setelah gempa Kanto (1923) gempa
Hanshin-Awaji merupakan bencana yang menimbulkan dampak terbesar di masa itu (Gambar
5).
Sejak masa topan Teluk
Ise, pemerintah dan masyarakat Jepang percaya bahwa mereka telah berhasil
membangun sistem yang efektif dalam manajemen bencana, yang berlandaskan sains
dan teknologi. Hal ini ditunjukkan dari berkurangnya jumlah kerugian yang
dialami oleh Jepang pasca terjadinya bencana, dari yang semula berjumlah
ribuan, menjadi berorde ratusan saja. Akan tetapi, gempa Hanshin ternyata
menjadi titik balik dari kesuksesan pemerintah tersebut. Dari peristiwa ini,
baik pemerintah maupun para akademisi menyadari bahwa terdapat beberapa hal
yang perlu dievaluasi di antaranya, padatnya Kota Kobe oleh rumah-rumah
berbahan kayu, yang memperparah dampak sekunder gempa berupa kebakaran hebat.
Terlebih, episenter gempabumi Kobe tercatat berada tepat di bawah kota
tersebut. Selain itu, hal lain yang menjadi pelajaran adalah rusaknya berbagai
fasilitas krusial seperti jalan raya, rel kereta api, gas, saluran air, saluran
listrik, serta saluran telepon. Kondisi ini membuat pemulihan pasca bencana
menjadi lebih lambat.
Gambar 3. Rusaknya
jalan layang akibat gempa Hanshin 1995 (http://republika.co.id)
Selain kedua hal tersebut,
evaluasi ketiga dari gempabumi Hanshin adalah lembaga-lembaga pemerintah tidak
dapat mengumpulkan informasi penting dari area terdampak. Akibatnya, terjadi
kesulitan bagi pemerintah pusat untuk mengambil keputusan-keputusan penting
dalam kondisi darurat tersebut. Belajar
dari hal ini, konsep dari Disaster Countermeasure Basic Act pun direvisi,
dengan tambahan bab mengenai standard pelaksanaan sistem komunikasi darurat
bagi pemerintah setempat. Di tingkat
kementerian, Crisis Management Centre dibentuk untuk mengkoordinir pelaksanaan
kebijakan ini.
Pendidikan Kebencanaan
juga mengalami revisi pasca terjadinya bencana ini. MEXT mengorganisir komite
ahli untuk menyusun buku panduan berjudul Development of Disaster Education,
yang berlandaskan pada konsep “Zest of
Living” (Ikaru Chikara), yaitu
keseimbangan antara kemampuan akademik yang mumpuni, tubuh yang sehat, serta
kepribadian tenggang rasa. Pada tahun
1998, arah pembelajaran di sekolah-sekolah formal mulai difokuskan pada
mitigasi bencana. Pendidikan kebencanaan secara utuh mulai dimasukkan dalam
kurikulum mata pelajaran sains maupun sosial di tingkat SD dan SMP.
Perkembangan penting dari
kurikulum ini adalah pengenalan mata pelajaran bernama sogoteki gakushu no jikan (studi terintegrasi), yang bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar dan berpikir secara mandiri,
memecahkan masalah, dan menciptakan keputusan secara proaktif. Pihak sekolah
berusaha memperbaiki aktivitas belajar-mengajar dan mengembangkan pembelajaran
kreatif yang membahas mengenai pengetahuan internasional tentang bencana alam, kesehatan,
dan lingkungan hidup. Kolaborasi antara sekolah, universitas-universitas, serta
komunitas lokal pun dijalin demi mencapai keberhasilan target kurikulum ini.
Selain menciptakan
perubahan di sektor pemerintahan dan pendidikan, Gempa Hanshin ternyata membawa
pengaruh besar bagi kondisi sosial masyarakat Jepang. Pasca Gempa Hanshin,
minat masyarakat untuk menjadi sukarelawan mengalami peningkatan tajam. Tahun
1995 merupakan puncak dari animo tersebut, hingga tahun itu dijuluki “the start year of volunteering”. Pada
masa tersebut, organisasi non-profit untuk para volunteer banyak berdiri. Kota yang terkena dampak paling parah,
Kobe, memberikan kontribusi besar bagi konsep pendidikan kebencanaan, melalui
gerakan moral “the way of living, the way
of being” berdasarkan kasih sayang antar sesama, tolong-menolong, dan menghargai
kehidupan setiap manusia.
f.
Pasca
Pembantaian di SD Ikeda (2001-2011)
Sementara lesson learnt dari Gempa Hanshin diterapkan dalam pembelajaran
sekolah, aspek lain dari konsep School Safety menjadi hal yang berkembang pesat
di tahun 2001, disebabkan oleh insiden khusus. Di SD Ikeda yang dikelola oleh
Universitas Osaka Kyoiku, seorang pegawai kebersihan tiba-tiba masuk ke ruang
kelas, lalu menusuk delapan siswa dan dua guru hingga meninggal dunia. 13 siswa
lain dikabarkan terluka akibat peristiwa ini. Pelaku pembunuhan sendiri diduga merupakan
pengidap gangguan psikologis.
Aksi pembunuhan brutal seperti ini
tidak pernah terjadi di Jepang sebelumnya. Untuk mengatasi keresahan dan trauma
yang muncul di mata masyarakat, MEXT dan pihak sekolah mulai mengkonsep ulang isu
keselamatan dalam School Safety. Referensi dan panduan spesifik tentang
manajemen risiko tindakan kriminal di sekolah pun diterbitkan. Begitu pula
dengan pengadaan terapi psikologis bagi siswa yang memiliki pengalaman buruk seperti
di SD Ikeda tersebut.
Semenjak peristiwa pembunuhan tersebut
terjadi, pengayaan pendidikan keselamatan menjadi kewajiban yang harus
diterapkan di setiap jenjang pendidikan formal. Program ini tidak hanya
melibatkan interaksi antara pihak sekolah dengan siswa saja, orangtua siswa dan
komunitas lokal pun diajak pula untuk berkontribusi dalam upaya peningkatan keamanan
dan kesehatan siswa. Pada tahun 2009, konsep School Health Act diperkenalkan
ulang sebagai School Health and Safety Act, yang di dalamnya terkandung pedoman
tentang skenario keadaan darurat di sekolah. Pilar hukum ini mengharuskan
setiap sekolah untuk memiliki School Safety Plan sesuai dengan kebutuhan
masing-masing sekolah. Rasio SD dan SMP yang mengimplementasikan School Safety
Plan meningkat dari angka 92.3% menjadi 95.7% antara tahun 2011 dan 2012 (MEXT,
2012), yang mengindikasikan keseriusan sekolah-sekolah di Jepang dalam program
keselamatan ini.
Insiden SD Ikeda merupakan bencana
buatan manusia yang membawa dampak besar bagi pendidikan kebencanaan Jepang, sebagaimana
bencana angin topan Teluk Ise dan gempa Hanshin. Peristiwa tersebut masih
dikenang oleh masyarakat Jepang hingga kini (Gambar 4). Pemerintah merespons
insiden ini sama seperti respon terhadap kedua bencana tersebut, dengan
memberikan arahan-arahan dan solusi untuk menghindari kemungkinan dampak apabila
peristiwa-peristiwa tersebut kembali terjadi di masa mendatang. Dengan
disempurnakannya School Health and Safety Act, lengkap sudah pedoman
keselamatan di sekolah-sekolah Jepang, yang memuat aspek keamanan dari semua
kemungkinan risiko.
Gambar 4. Siswa SD Ikeda meletakkan
karangan bunga dalam peringatan 10 tahun tragedi SD Ikeda (http://japantimes.co.jp)
g.
Pasca
Gempa-Tsunami Tohoku (2011-sekarang)
Hingga tahun 2018, Jepang masih dalam
masa pemulihan setelah gempa dan tsunami Tohoku 2011. Gempa dan tsunami Tohoku
merupakan bencana terbesar yang mempengaruhi banyak aspek masyarakat Jepang.
Pertama, karena bencana ini memiliki magnitudo yang tergolong besar, M9.0, dan
berdampak pada area yang luas; kedua, tsunami yang terjadi setelah
gempabumi memiliki ketinggian maksimum
39.7 m, yang juga merupakan tsunami tertinggi di Jepang (Gambar 5); dan yang
ketiga, tsunami Tohoku menimbulkan bocornya reaktor nuklir Fukushima.
Gempa dan Tsunami Tohoku 2011 membawa perubahan
bagi sistem pendidikan kebencanaan. MEXT, melalui komite ahli, merekomendasikan
ide-ide dalam kebijakan pendidikan kebencanaan. Salah satunya yaitu perubahan
konsep dari “knowledge base” menjadi “kemampuan
untuk secara inisiatif berperilaku mandiri ketika terjadi bencana (shutaiteki ni koudou suru taido)”. Siswa
dilatih untuk fleksibel dalam mengambil keputusan pada kondisi darurat.
Gambar 5.
Tsunami Tohoku 2011 (http://theatlantic.com)
Konsep ini terinspirasi dari kisah
‘keajaiban Kamaishi (Kamaishi no kiseki)’,
yang sempat menjadi bahan perbincangan di berbagai media dan pakar pendidikan.
Kisah ini mengacu pada tingkat keselamatan 100% yang dicapai oleh SD Kamaishi
ketika terjadi tsunami Tohoku. Pendidikan kebencanaan di SD Kamaishi disusun
dan disampaikan oleh Professor Katada dari Universitas Gunma. Oleh beliau,
siswa dididik untuk segera lari dan meninggalkan semua hal ketika terjadi
bencana, termasuk keluarga dan teman-teman mereka. Reaksi siswa-siswa tersebut
ternyata sesuai dengan hal yang mereka pelajari di sekolah tersebut. Terbukti,
melalui pemahaman ini, seluruh siswa SD Kamaishi berhasil mengevakuasi diri
dengan sukses. Contoh dokumentasi aktivitas belajar di SD Kamaishi dapat
dilihat pada Gambar 6.
Dari pengalaman selamatnya siswa-siswa
SD Kamaishi, dapat dipahami bahwa pendidikan kebencanaan merupakan salah satu
aspek life skill yang harus dimiliki
semua orang, khususnya masyarakat di wilayah rawan bencana. Pemangku kebijakan
dan akademisi berharap bahwa anak-anak dapat tumbuh dengan jiwa mandiri dan
mampu mengupayakan persiapan menghadapi bencana di tingkat masyarakat. Di
Jepang sendiri, persiapan menghadapi bencana (bosai bunka) telah menjadi budaya yang mengakar di kehidupan
masyarakat. Terlapor bahwa terdapat 20% sekolah di Jepang yang mengalami dampak
fatal di kalangan murid-murid, dimana sekolah-sekolah tersebut tidak memiliki
manual manajemen risiko bencana seperti 80% sekolah lainnya yang selamat. 20%
sekolah tersebut pun tidak memiliki standard rute evakuasi untuk para siswa dan
guru. Pelajaran yang dapat diambil yaitu, pendidikan kebencanaan haruslah diterapkan
dalam aktivitas sekolah sehari-hari, dan menjadi bagian dari budaya di sekolah.
Gambar 6. Aktivitas Belajar Mengajar
di SD Kamaishi (http://japanfs.org)
REFERENSI
Artikel
ini ditulis ulang dari:
Kitagawa,
K. (2014). Continuity and change in disaster education in Japan. History of
Education: Journal of The History of Education Society 44:3, 371-390. DOI
10.1080/0046760X.2014.979255.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar