Sabtu, 28 Desember 2019

Belajar dari Sistem Pendidikan Berbasis Mitigasi Bencana ala Jepang



Kesiapan menghadapi bencana adalah hal yang sangat penting untuk dibangun dan direncanakan oleh setiap negara, khususnya negara seperti Indonesia, yang secara geologis terletak pada daerah yang berpotensi tinggi akan ancaman bencana alam. Hal ini berlaku, baik untuk bencana alam, maupun bencana yang disebabkan oleh faktor manusia, seperti terorisme dan kecelakaan akibat rusaknya infrastruktur.



Gambar 1. Simulasi mekanisme gempabumi menggunakan instrumen pembelajaran, yang dilakukan oleh salah satu sekolah di Jepang (http://web-japan.org)
  
Jepang merupakan contoh negara yang mempersiapkan terjadinya semua kemungkinan faktor risiko tersebut dengan matang. Sadar akan tingginya potensi bencana di Jepang, pemerintah mencanangkan berbagai macam strategi untuk mengurangi risiko dampak korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur pasca bencana tersebut. Sebagai salah satu upaya persiapan menghadapi bencana, pendidikan kebencanaan (bosai kyoiku) pun diterapkan, baik dalam tingkat edukasi formal maupun non-formal. Program ini ternyata disambut baik oleh masyarakat Jepang, terutama setelah terjadi bencana-bencana dahsyat seperti gempa Hanshin-Awaji dan tsunami Tohoku (Kitagawa, 2014). Masyarakat percaya bahwa meskipun bencana alam tidak bisa dihentikan, namun dampak pasca-bencana seperti jatuhnya korban maupun kerusakan bangunan, dapat diminimalisir dengan baik melalui edukasi yang komprehensif dan berkelanjutan.

Mengenal Ocean Bottom Seismometer -- Sensor Gempa untuk Akuisisi Data Gempa di Laut Lepas

1. Perbandingan antara Seismometer Konvensional dengan Ocean Bottom Seismometer

Seismometer merupakan alat untuk merekam getaran gempabumi. Dari data rekaman ini, waktu tiba gelombang dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi terkait bagaimana mekanisme sumber dari gempabumi, serta lokasi terjadinya gempa bumi. Selama ini, penggunaan seismometer hanya terbatas untuk wilayah daratan saja, dimana data gempabumi hanya direkam secara pasif untuk memperoleh respon waveform. Seiring berkembangnya teknologi, Ocean Bottom Seismometer (OBS) ditemukan untuk melakukan akuisisi data gempabumi di wilayah lepas pantai. Pada OBS, energi seismik yang dihasilkan dari gempabumi dan getaran tremor digunakan sebagai source. Lebih ekstensif lagi, pada beberapa tipe alat, digunakan pula sumber suara buatan untuk menciptakan energi seismik tersebut.

Salah satu kelemahan seismograf konvensional terletak pada instrumen sensornya yang cukup besar, berat, dan tidak praktis. Kompleksnya instrumen sensor ini bertujuan mengakomodir kebutuhan alat akan sensitivitas yang baik, hasil signal to noise ratio yang optimum, serta respon frekuensi yang memadai. Hal ini dilakukan untuk menanggulangi rendahnya frekuensi yang terekam pada event gempa-gempa besar. Beranjak dari permasalahan tersebut, OBS dirancang seefisien mungkin untuk melakukan perekaman data. Desain OBS melibatkan package sensor dengan kapasitas yang lebih besar daripada seismograf konvensional, dimana rentang frekuensi OBS dapat mencapai 0.01-30 Hz. Durasi perekaman OBS pun tergolong cukup lama, yaitu dapat mencapai 6 – 12 bulan. Oleh karenanya, diperlukan pencatat jam yang lebih akurat. 

Controlled seismic source atau sumber buatan OBS diperlukan untuk menghasilkan gambaran beresolusi tinggi dari bagian atas kerak bumi. Sistem tersebut menggunakan stasiun perekaman yang banyak, umumnya berjarak 100 meter, dan banyak titik shot dengan jarak spasi yang berdekatan. Adapun shot yang digunakan dapat berupa array air gun atau instrumen lain yang sejenis. Setelah coverage target terpenuhi, struktur, perlapisan geologi, dan patahan bawah permukaan dapat didelineasi satu sama lain. Controlled seismic source ini tidak dapat merekam pada frekuensi rendah. Sejumlah instrumen perlu dipasang untuk menghindari acoustic release pada OBS untuk skala survey yang besar—oleh karena itu, diperlukan pula Remoted Operated Vehicles sensor (ROVs) untuk mengatasi hal tersebut.

Gambar 1. Proses deploy Ocean Bottom Seismometer/OBS
 (Manuel dkk., 2012)

Minggu, 19 Oktober 2014

"Tanah Lapuk" ini Bernama Bauksit


Gambar 1: Bauksit. Sumber: http:// http://netstate.com

"Hei, itu mineral?" Tepat sekali. Pertama kali melihat sekeping kecil bauksit dalam praktikum mineralogi, tadinya saya berpikir bahwa benda tersebut adalah tanah lapuk yang terbawa oleh asisten praktikum. Memang, sepintas lalu, dengan warnanya yang cokelat membumi, bauksit tampak serupa tanah biasa. Tidak sedikit orang awam seperti saya yang bakal salah mengira. 
  Bagi teman-teman yang mendalami ilmu metalurgi maupun pertambangan pastilah tidak asing lagi dengan sosok mineral golongan oksida yang satu ini. Bauksit merupakan material dasar untuk memproduksi alumina. Di Indonesia, bauksit pertama kali ditemukan pada tahun 1924 di Kijang, pulau Bintan, di provinsi Kepulauan Riau. Bauksit yang berasal dari Bintan telah ditambang dan diekspor sejak tahun 1935. Mineral ini terdiri dari hydrous aluminium oksida dan aluminium hidroksida yakni dari mineral gibbsite Al (OH) 3, boehmite γ-ALO (OH), dan diaspore α-ALO (OH), bersama-sama dengan oksida besi goethite dan bijih besi. Nama ‘bauksit’ atau ‘bauxite’ berasal dari kata ‘Le Baux’, sebuah desa kecil di Perancis, tempat ditemukannya bauksit untuk petama kali.
Bauksit berwarna cokelat dengan sekumpulan mineral berbentuk lingkaran di bagiannya. Bauksit umumnya terbentuk di area subtropis atau tropis, di lapisan tanah residu. Beberapa negara penghasil bauksit antara lain: Indonesia, Jamaika, Australia, Perancis, dan lain-lain. Berikut ini adalah spesifikasi dari bauksit:


Tabel 1: Identifikasi Mineral Bauksit


******


REFERENSI

Wikipedia. Bauxite. http://en.wikipedia.org/wiki/Bauxite. 21 Maret 2014.
Bharat Aluminium Company (Balco). Bauxite, an Overview. http://www.balcoindia.com/operation/bauxite2.aspx.  21 Maret 2014.  
Tim Asisten Mineralogi 2014. 2014. Panduan Praktikum Mineralogi 2014. DI Yogyakarta: Laboratorium Geologi Program Studi Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada.

Peranan Gelombang P dan Gelombang S dalam Mempelajari Karakteristik Interior Bumi

GELOMBANG P DAN GELOMBANG S



Gambar 1: Gelombang P dan S
sumber: http://alabamaquake.com


Gelombang P dan gelombang S merupakan dua dari jenis gelombang seismik. Adapun proses terjadinya: pada saat terjadi guncangan hebat akibat gempa bumi, aktivitas gunungapi, penggunaan bahan peledak, penggunaan mesin-mesin berat, bahkan bisa juga akibat hentakan meteor dalam hujan meteor, terdapat energi yang terakumulasi dan kemudian dilepaskan dari proses-proses tersebut, yang disebut sebagai energi seismik. Energi seismik ini dilepaskan dalam bentuk gelombang seismik, yang terbagi atas gelombang badan dan gelombang permukaan. Adapun gelombang permukaan (surface wave), jenis gelombang tersebut merambat melalui permukaan bumi. Sedangkan gelombang badan merambat ke dalam permukaan bumi. Gelombang badan (body wave) sendiri terbagi atas gelombang primer (P) dan gelombang sekunder (S), yang mana keduanya akan merambat melintasi kedalaman bumi tertentu, sesaat setelah guncangan tersebut terjadi. Kedua gelombang ini memiliki karakter berbeda.
Gelombang P merupakan gelombang longitudinal, dimana arah rambat gelombang searah dengan arah getarnya. Gelombang ini memiliki kecepatan yang lebih besar daripada gelombang S. Oleh karenanya, gelombang ini tidak hanya bisa melewati zat padat saja, namun juga zat cair. Gelombang ini dapat menekan dan menarik batuan sebagaimana sumber bunyi dapat menggetarkan udara, yang berperan sebagai medium bunyi.
Berbeda dari gelombang P, gelombang S adalah gelombang transversal. Arah rambat gelombang tegak lurus dengan arah getarnya.  Gelombang ini merambat seperti getaran agar-agar dalam mangkuk. Kecepatan gelombang S lebih lambat daripada gelombang P, dan gelombang S tidak bisa menembus fluida seperti yang bisa gelombang P lakukan.
Gelombang S tidak dapat merambat melalui benda cair pada lapisan bumi karena fluida memiliki sifat tidak meneruskan tekanan geser (shear strain) yang dimiliki oleh gelombang transversal.

 PERAN GELOMBANG SEISMIK DALAM MENGENALI KARAKTER KERAK BUMI DAN MANTEL BUMI
Para ahli geofisika dan geologi telah memanfaatkan kedua jenis gelombang badan ini dalam memperkirakan lapisan-lapisan bumi. Ketika terjadi hentakan hebat (misal: gempa bumi), gempa tersebut akan memancarkan gelombang badan dan gelombang permukaan. Gelombang badan yang terdiri dari gelombang primer (P) dan gelombang sekunder (S) akan menembus ke bawah permukaan bumi. Gelombang P dan S memiliki keunikan masing-masing dimana gelombang P bisa menembus lapisan padat dan cair sedangkan gelombang S hanya bisa melewati lapisan padat saja. Penjalaran gelombang P dan S yang melewati lapisan bumi dapat dilihat pada gambar berikut ini:




Gambar 2: Penjalaran Gelombang P dan S
Sumber:
http://cse.ssl.berkeley.edu

Dari gelombang gempa yang menjalar melalui lapisan bumi kemudian dideteksi oleh seismometer yang dipasang di seluruh dunia. Data tersebut dianalisa sehingga didapatlah ketebalan dan sifat  masing-masing lapisan bumi. Seperti pada Gambar 2, gelombang S dan P hanya melewati mantel bumi yang bersifat dan padat dan kenyal. Pada lapisan bumi inti luar hanya gelombang P saja yang terdeteksi, ini berarti lapisan bumi inti luar sifatnya cair dan gelombang S tidak bisa melewatinya.
Adapun salah satu peranan gelombang P dan S adalah mengidentifikasi wujud zat pada kerak dan mantel. Ternyata, sesuai dengan Gambar 2, gelombang P dan S dapat melalui kerak dan mantel, maka dapat dikatakan bahwa kerak dan mantel bumi bersifat padat, sebab gelombang S yang merupakan gelombang transversal mampu melewati keduanya.
Gelombang gempa ini ternyata juga membantu Andrija Mohorovivic, seorang seismolog Kroasia untuk menentukan batas antara kerak dan mantel bumi, yang selanjutnya disebut moho. Mohorovivic dalam pengamatannya menemukan peristiwa aneh: saat terjadi gempa, lokasi yang berjarak di atas 200 km menerima gelombang P dengan kecepatan gelombang yang lebih tinggi daripada saat gelombang P tersebut melalui lokasi dengan jarak di bawah 200 km. Menurut Mohorovivic, terdapat suatu lapisan di bawah kerak yang densitasnya lebih tinggi, sehingga gelombang P yang melalui lapisan tadi bisa merambat lebih cepat daripada gelombang P saat melalui kerak. Lapisan berdensitas tinggi itulah yang disebut sebagai mantel bumi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut:




Gambar 3: Perbandingan Kecepatan Gelombang P Saat di Mantel dan Kerak
Sumber:
http://toiki.or.id



REFERENSI

Aspire—Astrophysics Science Project Integrating Research and Education. Seismic Waves. http://aspire.cosmic-ray.org/Labs/SeismicWaves/. 7 April 2014.
Rusydy, Ibnu (2012). Mempelajari Lapisan Bumi dengan Data Gempa. http://www.ibnurusydy.com/mempelajari-lapisan-bumi-dgn-data-gempa/. 7 April 2014.
Tim Olimpiade Ilmu Kebumian Indonesia. Dalamnya Bumi, Siapa yang Tahu? http://www.toiki.or.id/2010/05/dalamnya-bumi-siapa-yang-tahu.html. 7 April 2014.
UCSB Science Line. How Waves Can Lead to Theories About The Internal Structure of Earth? http://scienceline.ucsb.edu/getkey.php?key=3397. 7 April 2014.